Menanamkan Budaya Positif di Sekolah
Selasa, 27 Agustus 2024 16:28
Menanamkan Budaya Positif di Sekolah
Eka Yulia Syahrawati
CGP Angkatan 11 – 2024
Menanamkan budaya positif di sekolah sebagai upaya bersama membutuhkan kolaborasi seluruh warga sekolah secara berkesinambungan.
Guru Sebagai Agen dalam Penanaman Karakter Murid
Guru sesuai dengan filosofi pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara (KHD) memiliki peran sebagai agen untuk menuntun segala kodrat yang ada pada murid agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai seorang pendidik, guru diibaratkan berperan sebagai petani kehidupan yang "menuntun" tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada murid. Dalam proses ini, murid didukung dengan adanya kesempatan luas dalam mengembangkan potensinya, sedangkan guru berperan sebagai pamong agar murid tidak kehilangan arah.
Guru sebagai pamong dapat memberi tuntunan pada murid agar dapat menemukan potensi terbaiknya dalam belajar. Murid dituntun sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Kodrat alam terkait dengan lingkungan dimana murid berada, sedangkan kodrat zaman terkait dengan era yang sedang dilalui murid pada masanya. Selanjutnya, guru sebagai pendidik harus selalu berpihak murid sesuai dengan kodrat keadaannya. Guru juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter murid agar terwujudnya budaya positif.
Disiplin Positif dan Nilai-Nilai Kebajikan Universal
Untuk mewujudkan filosofi pendiidkan nasional KHD, sebagai guru dan pemimpin pembelajaran harus mampu menggerakkan serta memotivasi warga sekolah agar meyakini dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang sudah disepakati bersama sehingga tercipta budaya positif yang berpihak pada murid.
Tujuan mulia dari penerapan disiplin positif adalah agar terbentuk murid-murid yang berkarakter, berdisiplin, santun, jujur, peduli, bertanggung jawab, dan merupakan pemelajar sepanjang hayat sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang diharapkan.
Penerapan disiplin positif dipraktikkan untuk menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, dan bertanggung jawab. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pemimpin sekolah hendaknya memiliki jiwa kepemimpinan serta dapat mengembangkan sekolah dengan baik yaitu dengan menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya positif. Demikian juga dengan warga sekolahnya; setiap guru dan tenaga kependidikan memiliki kompetensi standar minimal di mana mereka memiliki kesamaan visi serta nilai-nilai kebajikan yang dituju, serta berupaya mewujudkannya dalam pembelajaran yang aplikatif yang mengupayakan pemberdayaan murid agar dapat menjadi pemelajar sepanjang hayat.
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik. Nilai-nilai kebajikan universal berarti nilai-nilai kebajikan yang disepakati bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan pondasi kita berperilaku. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap insan.
Menurut Dr. William Glasser dalam Control Theory meluruskan berapa miskonsepsi tentang makna ‘kontrol’. Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu apabila murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya guru sedang mengontrol perilaku murid, hal tersebut terjadi karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Pada saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia:
- Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. Motivasi ini bersifat eksternal.
- Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka jugamelakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. Motivasi ini juga bersifat eksternal.
- Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
Dalam menjalankan peraturan ataupun keyakinan kelas/sekolah, jika ada suatu pelanggaran, tentunya akan ada hal yang terjadi. Maka dari itu kita perlu meninjau kembali tindakan penegakan peraturan atau keyakinan kelas/sekolah kita selama ini. Tindakan terhadap suatu pelanggaran pada umumnya berbentuk hukuman atau konsekuensi.
Hukuman merupakan tindakan yang diberikan kepada murid saat melanggar peraturan sekolah, dapat menimbulkan rasa tidak menyenangkan dan menyakiti dalam jangka waktu yang lama baik secara fisik maupun psikis. Hukuman bisa berakibat tidak baik bagi murid di masa yang akan datang. Sedangkan, penghargaan dapat diartikan sebagai imbalan yang diberikan kepada murid karena keunggulannya dalam bidang tertentu. Penghargaan dapat menjadi sebuah malapetaka bagi murid, karena bisa berakibat menurunkan motivasi instrinsik. Murid hanya akan melakukan sesuatu jika ada imbalannya.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga merupakan proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah.
Keyakinan Kelas
Keyakinan kelas adalah meyakini tentang nilai-nilai kebajikan universal yang disepakati secara tersirat dan tersurat, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan tertulis tanpa makna. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan memahami arti sesungguhnya tentang peraturan-peraturan yang diberikan, apa nilai-nilai kebajikan dibalik peraturan tersebut, apa tujuan utamanya, dan menjadi tidak tertarik, atau takut sehingga hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur mereka tanpa memahamitujuan mulianya.
Pembentukan Keyakinan Sekolah/Kelas:
- Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
- Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
- Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
- Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
- Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
- Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
- Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
Kebutuhan Dasar dan Dunia Berkualitas
Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Restitusi – 5 Posisi Kontrol
Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer.
- Penghukum
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata: “Patuhi aturan saya, atau awas!”; “Kamu selalu saja salah!”; “Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”. Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
- Pembuat Merasa Bersalah
Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti: “Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”; “Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”; “Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”; Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
- Teman
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata: “Ayo bantulah, demi bapak ya?”; “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”; “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
- Pemantau
Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau: “Peraturannya apa?”; “Apa yang telah kamu lakukan?”; “Sanksi atau konsekuensinya apa?”. Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang.
- Manajer
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata “Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas); “Apakah kamu meyakininya?”; “Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”; “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”; “Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Restitusi – Segitiga Restitusi
Ada tiga tahapan dalam melakukan segitiga restitusi, yaitu:
- Menstabilkan Identitas
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang melanggar peraturan karena sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal.
- Validasi Tindakan yang Salah
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan penguasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan kasih saying dan rasa diterima/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah, namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.
- Menanyakan Keyakinan
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka menjadi orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.
Sekolah sebagai Institusi Penanaman Karakter dan Budaya Positif
Menanamkan budaya positif di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan karakter murid. Program sekolah yang ditujukan sebagai upaya menanamkan karakter ini misalnya program literasi yang ditujukan untuk menumbuhkan karakter kritis pada murid serta program imtaq rutin yang ditujukan untuk menanamkan karakter spiritual pada murid. Selanjutnya karakter mulia pada murid diharapkan dapat tertanam sehingga mendukung murid agar dapat memberikan kontribusi terbaiknya kelak dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Hal tersebut seperti tercantum dalam Profil Pelajar Pancasila yaitu: Beriman dan Bertaqwa Kepada Tuhan YME serta Berakhlak Mulia, Kreatif, Gotong Royong, Berkebhinekaan Global, Bernalar Kritis dan Mandiri.
Salah satu bentuk budaya positif di sekolah yang telah terlaksana adalah budaya 5S yaitu senyum, salam, sapa, sopan dan santun. Budaya positif di sekolah tersebut tentunya perlu terus dilestarikan sebagai salah satu upaya pembentukan karakter mulia pada diri murid. Upaya mewujudkan budaya positif ini, perlu terus dikembangkan. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman terhadap disiplin positif sangat diperlukan, karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Tantangan dalam Menerapkan Budaya Positif di Sekolah
Budaya positif akan sangat baik jika dapat kita terapkan di sekolah. Budaya positif membawa harapan baru bagi dunia Pendidikan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, budaya positif akan dapat mengubah pola pikir guru serta kepala sekolah dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Murid akan merasa lebih aman dan nyaman berada di sekolah. Murid tidak lagi memiliki rasa khawatir tentang sanksi dan hukuman yang dapat di terima, sehingga proses pembelajaran akan dapat berjalan lebih optimal.
Selanjutnya, ada beberapa hal yang dapat menjadi tantangan dalam penerapan budaya positif di sekolah, diantaranya:
- Belum semua guru dapat merubah pola pikirnya untuk menerima konsep budaya positif.
- Masih banyak guru yang berperilaku sebagai penghukum.
- Perlu waktu yang tidak sebentar untuk dapat mengubah posisi kontrol guru sampai ke posisi manager.
- Membutuhkan kolaborasi dari semua warga di sekolah secara bersinambungan.
Usaha Menanamkan Budaya Positif di Sekolah
Membangun budaya positif di sekolah bukan menjadi tugas guru saja, tetapi membutuhkan kolaborasi dari semua warga sekolah. Apa saja yang hendaknya perlu dilaksanakan agar budaya positif di sekolah dapat tertanam?
Sebagai langkah awal, tentunya guru perlu bermusyawarah dengan murid dalam merumuskan keyakinan kelas. Upaya membangun budaya positif di sekolah dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun keyakinan kelas. Keyakinan kelas ini berlandaskan kepada nilai-nilai kebajikan universal yang ada. Melalui keyakinan kelas ini diharapkan akan tumbuh motivasi internal dalam diri murid untuk terus bersemangat dan memberikan upaya terbaiknya dalam belajar.
Dengan adanya keyakinan kelas akan dapat membantu terlaksananya proses belajar mengajar yang lebih kondusif. keyakinan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Keyakinan kelas disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid, serta dapat ditinjau kembali dari waktu ke waktu.
Dalam menyusun keyakinan kelas, guru perlu mempertimbangkan kejelasan sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka. Keyakinan kelas yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilaksanakan. Untuk mempermudah pemahaman murid, keyakinan kelas dapat ditulis, digambar, atau disusun dan dipajang sedemikian rupa agar mudah dipahami murid.
Penerapan Budaya Positif di SMAN 1 Jereweh
Adapun penerapan budaya positif yang sudah dilakukan adalah:
- Terbentuknya keyakinan kelas yang dibuat dan disepakati oleh murid bersama wali kelas.
- Menguatnya karakter positif murid yang teramati melalui semakin bertambahnya murid yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler keagamaan serta kepedulian pada sesama dan peduli lingkungan yang ditujukkan dengan kesadaran murid untuk membuang sampah pada tempatnya.
- Meningkatnya disiplin murid dalam kehadiran tepat waktu
- Menguatnya karakter bertanggungjawab pada murid terhadap tugas-tugas yang diberikan baik tugas mata pelajaran maupun kerapian dan kebersihan kelas.
- Mulai terbentuknya karakter bernalar kritis yang teramati melalui meningkatnya semangat dan keaktifan murid dalam bertanya, menjawab, berpendapat/berargumen.
- Terbentuknya poster keyakinan kelas yang telah dipajang di kelas.
- Budaya 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun)
Sumber: Modul 1.4 Budaya Positif Pendidikan Guru Penggerak
Video Aksi Nyata Modul 1.4 Budaya Positif klik di sini.